Bulan Shafar
merupakan bulan kedua dari penanggalan Hijriyah. Oleh sebagian ulama, bulan
Shafar ini diberi julukan Shafarul Khair, artinya Shafar yang penuh kebaikan.
Kenapa dinamakan demikian? Karena umumnya orang awam menyangka bahwa bulan
Shafar adalah bulan sial atau penuh dengan bala (bencana). Sehingga untuk
membuat rasa optimis umat Islam maka dinamakanlah Shafarul Khair. Sehingga
bulan Shafar tidak terkesan menakutkan apalagi dipercaya sebagai bulan
kesialan. Padahal setiap bulan-bulan Islam itu memiliki kekhususan dan
keistimewaan sendiri-sendiri, demikian pula bulan Safar.
Pada dasarnya hari dan bulan dalam satu tahun adalah sama. Tidak ada
hari atau bulan tertentu yang membahayakan atau membawa kesialan. Keselamatan
dan kesialan pada hakikatnya hanya kembali pada ketentuan takdir Ilahi.
Pada masa jahiliyah, orang Arab beranggapan bahwa bulan Safar merupakan
bulan yang tidak baik. Bulan yang banyak bencana dan musibah, sehingga orang
Arab pada masa itu menunda segala aktivitas pada bulan Shafar karena takut
tertimpa bencana. Begitu juga dalam amalan tradisi, banyak hitungan-hitungan
yang digunakan untuk menentukan hari baik dan hari tidak baik, hari
keberuntungan dan hari kesialan. Lalu bagaimana menurut syariah Islam?
Dalam hadits riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah SAW meluruskan dan
menjelaskan tentang hal-hal yang merupakan penyimpangan akidah itu. Rasulullah
bersabda. “Tidak ada penularan penyakit, tidak diperbolehkan meramalkan
adanya hal-hal buruk, tidak boleh berprasangka buruk, dan tidak ada keburukan
dalam bulan Shafar.”
Kemudian seorang A’raby (penduduk pedesaan arab), bertanya kepada
Rasulullah. “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan onta yang semula
sehat kemudian berkumpul dengan onta yang kudisan kulitnya, sehingga onta
tersebut menjadi kudisan pula?”
Kemudian Rasulullah menjawab dengan sebuah pertanyaan. “Lalu siapa
yang menularkan (kudis) pada onta yang pertama?”
Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu,
bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah. Pada saat itu mereka
berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa
bersandar pada ketentuan dari takdir ilahiyah.
Oleh sebab itu, untuk meluruskan keyakinan mereka, Rasulullah menjawab pertanyaan mereka dengan pertanyaan pula. Jika penyakit kudis onta yang sehat berasal dari onta yang sudah kudisan, onta yang kudisan dari yang lain, kemudian siapa yang menularkan penyakit kudis pada onta yang pertama kali terkena penyakit kudis?
Oleh sebab itu, untuk meluruskan keyakinan mereka, Rasulullah menjawab pertanyaan mereka dengan pertanyaan pula. Jika penyakit kudis onta yang sehat berasal dari onta yang sudah kudisan, onta yang kudisan dari yang lain, kemudian siapa yang menularkan penyakit kudis pada onta yang pertama kali terkena penyakit kudis?
Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak
Allah SWT. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun
walaupun kesemuanya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan,
manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala
musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda. “Janganlah onta
yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”.
Dalam hadits yang lain disebutkan. “Larilah dari orang yang sakit lepra, seperti kamu lari dari singa.”
Dalam hadits yang lain disebutkan. “Larilah dari orang yang sakit lepra, seperti kamu lari dari singa.”
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya
hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah,
bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik
dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.
Pada masa peradaban Jahiliyyah, mereka menggantungkan nasib baik dan
nasib buruk pada kepakan sayap seekor burung. Jika mereka akan bepergian atau
aktivitas yang lain, mereka melapaskan seekor burung. Apabila burung terbang ke
arah kanan atau belok ke arah kanan, maka pertanda nasib baik dan mereka akan
meneruskan perjalanannya. Begitu sebaliknya, jika burung yang dilepaskan
terbang ke arah kiri atau belok kiri, maka pertanda nasib buruk dan mereka akan
mengurungkan perjalanannya, karena mereka meyakini bahwa hal itu pertanda
buruk.
Dalam hadits riwayat Imam Thobroni, Rasulullah SAW bersabda. “Tidak
akan mendapat derajat tinggi orang pergi ke dukun, orang bersumpah untuk
kepentingan pribadi, atau orang yang kembali atau tidak jadi bepergian karena
ramalan.”
Maksud hadits walaa hammata adalah tidak baik dalam berprasangka buruk
akan datangnya bencana atau musibah. Ketika itu orang Arab mempercayai, “Jika
di malam hari ada burung hantu terbang di atas rumahnya, maka itu menandakan
akan ada yang meninggal dunia.”
Mereka juga mempercayai, jika ada pembunuhan yang belum terbalaskan,
kemudian malam harinya ada burung hantu yang terbang di atas rumahnya, itu
menandakan ruh dari orang yang dibunuh belum bisa tenang, masih melayang-layang
menuntut pembalasan. Pemahaman dan kepercayaan semacam ini amat sangat keliru,
sehingga Rasulullah meluruskan dengan hadits diatas.
Walaa Shafara atau tidak ada keburukan dalam bulan Shafar. Hadits
tersebut untuk mematahkan keyakinan yang keliru di kalangan jahiliyah. Mereka
menganggap bahwa bulan Shafar merupakan bulan yang kurang baik, yang banyak
musibah dan bencana, sehingga mereka menilai dan berprasangka buruk terhadap
bulan Shafar.
Menurut Islam, semua bulan dan hari itu baik, masing-masing mempunyai
sejarah, keistimewaandan peristiwa sendiri-sendiri. Jika bulan tertentu
mempunyai sisi nilai keutamaan yang lebih, bukan berarti bualn yang lain
merupakan bulan yang buruk. Misalnya, dalam bulan Romadlon ada peristiwa Nuzul
al Qur’an dan Lailat al Qadar, dalam bulan Rajab ada Isra’ dan Mi’raj dan dalam
bulan Rabi’ul Awwal ada peristiwa Maulid atau kelahiran Rasulullah SAW dan
lain-lain.
Jikalau ada kejadian tragis atau peristiwa yang memilukan dalam sebuah
bulan, itu bukan berarti bulan tersebut merupakan bulan musibah atau bulan yang
penuh kesialan. Namun kita harus pandai-pandai mencari hikmah di balik
peristiwa itu, dan amaliah apa yang harus dilakukan sehingga terhindar dan
selamat dari berbagai musibah.
Imam Ibn Hajar Ash Shafii tentang Hari Nahas
Al Imam Ibn Hajar al Haitami pernah ditanya tentang bagaimana status
adanya hari nahas yang oleh sebagian orang dipercaya, sehingga mereka berpaling
dari hari itu atau menghindarkan suatu pekerjaannya karena dianggap hari itu
penuh kesialan.
Beliau menjawab bahwa jika ada orang mempercayai adanya hari nahas
(sial) dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan
suatu pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka
sesungguhnya yang demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah
kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk
terhadap Allah.
Sedangkan jika ada riwayat yang menyebutkan tentang hari yang harus
dihindari karena mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah bathil,
tidak benar, mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang
jelans, untuk itu jauhilah riwayat seperti ini. (Fatawa Al Haditsiyah)
Kita semua yakin bahwa terjadinya musibah atau gejala alam yang menimpa
manusia, bukan karena adanya hari nahas atau karena adanya binatang tertentu
atau karena adanya kematian seseorang. Yang kita yakini adalah semua yang
terjadi di alam ini adalah dengan takdir dan kehendak Allah.
Hari-hari, bulan, matahari, bintang dan makhluk lainnya tidak bisa
memberikan manfaat atau madlarat (bahaya), tetapi yang memberi manfaat dan
madlarat adalah Allah semata. Maka meyakini ada hari nahas atau hari sial yang
menyebabkan seorang muslim menjadi pesimis, tentunya itu bukan ajaran Islam
yang dibawa oleh Rasulullah.
Semua hari adalah baik, dan masing-masing ada keutamaan tersendiri. Hari
dimana kita menjaganya dan mengisinya dengan kebaikan dan ketaatan, itulah hari
yang sangat menggembirakan dan hari raya buat kita. Seperti dikatakan oleh
ulama Salaf, hari rayaku adalah setiap hari dimana aku tidak bermaksiat kepada
Allah pada hari itu, dan tidak tertentu pada suatu hari saja.
Misteri Rabu Abeh (Rabu akhir Bulan Shafar)
Lalu bagaimana dengan Rabu Abeh yang sering kita dengar bahwa pada hari
itu adalah hari yang penuh bala dan musibah, bahkan bala selama setahun penuh
diturunkan pada hari Rabu tersebut?
Ketahuilah bahwa tidak ada satupun riwayat dari Rasulullah SAW yang
menyatakan bahwa Rabu akhir Shafar adalah hari nahas atau penuh bala. Pendapat
di atas sama sekali tidak ada dasaran dari hadits Nabi Muhammad yang mulia.
Hanya saja disebutkan dalam kitab Kanzun Najah wa as Suruur halaman 24,
sebagian ulama Sholihin Ahl Kasyf (ulama yang memiliki kemampuan melihat
sesuatu yang samar) berkata. “Setiap tahun turun ke dunia 320.000 bala (bencana)
dan semua itu diturunkan oleh Allah pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka
hari itu adalah hari yang paling sulit.”
Dalam kitab tersebut, pada halaman 26 dinyatakan, sebagian ulama Sholihin berkata. “sesungguhnya Rabu akhir bulan Shafar adalah hari nahas yang terus menerus.”
Pendapat ulama Sholihin di atas, sama sekali tidak memiliki dasar Hadits yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Oleh karena itu, jangan pesimis dan merasa ketakutan jika menghadapi Rabu Abeh. Sekali lagi harus diingat bahwa yang menurunkan bala’ dan membuat kemanfaatan atau bahaya adalah Allah SWT dan atas kehendakNya, bukan karena hari tertentu atau perputaran matahari.
Perlu diingat pula, perilaku pesimis yang diakibatkan adanya sesuatu, sehingga meninggalkan pekerjaan atau bepergian karena hari tertentu misalnya atau karena adanya burung tertentu lewat ke arah tertentu, itu dinamakan Thiyarah dan Thiyarah ini jelas-jelas diharamkan karena itu adalah kebiasaan orang jahiliyah.
Dalam kitab tersebut, pada halaman 26 dinyatakan, sebagian ulama Sholihin berkata. “sesungguhnya Rabu akhir bulan Shafar adalah hari nahas yang terus menerus.”
Pendapat ulama Sholihin di atas, sama sekali tidak memiliki dasar Hadits yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Oleh karena itu, jangan pesimis dan merasa ketakutan jika menghadapi Rabu Abeh. Sekali lagi harus diingat bahwa yang menurunkan bala’ dan membuat kemanfaatan atau bahaya adalah Allah SWT dan atas kehendakNya, bukan karena hari tertentu atau perputaran matahari.
Perlu diingat pula, perilaku pesimis yang diakibatkan adanya sesuatu, sehingga meninggalkan pekerjaan atau bepergian karena hari tertentu misalnya atau karena adanya burung tertentu lewat ke arah tertentu, itu dinamakan Thiyarah dan Thiyarah ini jelas-jelas diharamkan karena itu adalah kebiasaan orang jahiliyah.
Bahkan kalau kita mau bersikap obyektif, ternyata hari Rabu adalah hari
yang penuh keberkahan. Seperti diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi dalam Syu’ab
al Iman, bahwa doa dikabulkan pada hari Rabu setelah Zawaal (tergelincirnya
matahari).
Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Ibn Abdillah, bahwa Nabi Muhammad SAW mendatangi masjid al Ahzab pada hari Senin, Selasa dan Rabu antara Dzuhur dan Ashar, kemudian beliau meletakkan serbannya dan berdiri lalu berdoa, Jabir berkata. “Kami melihat kegembiraan memancar dari wajah Beliau.” demikian disebutkan dalam kitab-kitab sejarah (Kanzun Najah wa al Surur 36)
Kalau kita menganggap bahwa hari Rabu Abeh adalah hari penuh bala, lalu bagaimana dengan hari lainnya? Padahal jika Allah berkehendak menurunkan azab atau bala tidak akan menunggu hari-hari tertentu yang dipilih dan ditentukan oleh manusia. Tapi Allah dengan kekuasaannya dapat bertindak dan berbuat sekehendak-Nya.
Maka seharusnya kita waspada dengan kemurkaan Allah setiap hari dan setiap saat, sebab kita tidak tahu kapan bala itu akan turun. Maka perbanyaklah istighfar, bertaubat dan mengharap rahmat Allah, sebagaimana Rasulullah beristighfar seratus kali setiap hari. Inilah teladan kita, tidak menunggu hari atau bulan tertentu saja untuk Istighfar dan bertaubat.
Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Ibn Abdillah, bahwa Nabi Muhammad SAW mendatangi masjid al Ahzab pada hari Senin, Selasa dan Rabu antara Dzuhur dan Ashar, kemudian beliau meletakkan serbannya dan berdiri lalu berdoa, Jabir berkata. “Kami melihat kegembiraan memancar dari wajah Beliau.” demikian disebutkan dalam kitab-kitab sejarah (Kanzun Najah wa al Surur 36)
Kalau kita menganggap bahwa hari Rabu Abeh adalah hari penuh bala, lalu bagaimana dengan hari lainnya? Padahal jika Allah berkehendak menurunkan azab atau bala tidak akan menunggu hari-hari tertentu yang dipilih dan ditentukan oleh manusia. Tapi Allah dengan kekuasaannya dapat bertindak dan berbuat sekehendak-Nya.
Maka seharusnya kita waspada dengan kemurkaan Allah setiap hari dan setiap saat, sebab kita tidak tahu kapan bala itu akan turun. Maka perbanyaklah istighfar, bertaubat dan mengharap rahmat Allah, sebagaimana Rasulullah beristighfar seratus kali setiap hari. Inilah teladan kita, tidak menunggu hari atau bulan tertentu saja untuk Istighfar dan bertaubat.
Hal serupa sering kita dengar, bahwa sebagian orang tidak mau melakukan
pernikahan pada bulan Syawal, takut terjadi ini dan itu yang semuanya tidak ada
dasar hukum yang jelas. Budaya ini berawal pada zaman Jahiliyah, disebabkan
pada suatu tahun, tepatnya bulan Syawal, Allah menurunkan wabah penyakit,
sehingga banyak orang mati menjadi korban termasuk beberapa pasangan pengantin,
maka sejak itu mereka kaum jahilin tidak mau melangsungkan pernikahan pda bulan
Syawal.
Jadi, jika zaman sekarang ada seseorang tidak mau menikah pada bulan Syawal karena takut terkena penyakit atau musibah atau tidak punya anak, ketahuilah bahwa dia telah mengikuti langkah kaum jahiliyyah. Hal itu bukanlah perilaku umat Nabi Muhammad SAW. Sayyidah Aisyah RA bahkan menentang budaya seperti ini dan berkata. “Rasulullah SAW menikahi saya pada bulan Syawal, berkumpul (membina rumah tangga) dengan saya pada bulan Syawal, maka siapakah dari isteri beliau yang lebih beruntung daripada saya,”
Jadi, jika zaman sekarang ada seseorang tidak mau menikah pada bulan Syawal karena takut terkena penyakit atau musibah atau tidak punya anak, ketahuilah bahwa dia telah mengikuti langkah kaum jahiliyyah. Hal itu bukanlah perilaku umat Nabi Muhammad SAW. Sayyidah Aisyah RA bahkan menentang budaya seperti ini dan berkata. “Rasulullah SAW menikahi saya pada bulan Syawal, berkumpul (membina rumah tangga) dengan saya pada bulan Syawal, maka siapakah dari isteri beliau yang lebih beruntung daripada saya,”
Nabi Muhammad juga menikahi Sayyidah Ummu Salamah juga pada bulan Syawal.
0 komentar:
Posting Komentar